Pada tahun 2020, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah Tiongkok, menurut laporan “Global Plastic Waste Maturity Model” yang diterbitkan oleh World Bank.
Menurut situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, pada tahun 2020, Indonesia menghasilkan sekitar 6 juta ton sampah plastik.
Masalah ini telah memicu keprihatinan dari kalangan lingkungan dan para pembuat kebijakan, karena dampak polusi plastik terhadap kehidupan laut, ekosistem, dan kesehatan manusia semakin nyata.
Upaya untuk mengatasi krisis ini telah mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, dengan pemerintah Indonesia menerapkan berbagai langkah untuk menangani sampah plastik.
Akumulasi sampah Indonesia terhadap sampah Dunia
Sampah yang terakumulasi dari seluruh dunia mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan benar-benar membuat bumi ini tidak lagi tampak hijaunya. Termasuk, Indonesia sendiri yang merupakan negeri kepulauan terbesar kedua di dunia.
Jumlah penduduk Indonesia yang banyak menyesuaikan dari demografi dan luas wilayahnya. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu hal yang tidak bisa dihindari setiap negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, produksi limbah serta hasil tak terpakai yang menjadi sampah juga menjadi permasalahan tersendiri yang harus dicari alternatif penyelesaiannya.
New York Times pernah memublikasikan artikel terkait pembuangan emisi dioksin yang melebihi ambang batas di Indonesia. Salah satu sumber yang didapat dari artikel tersebut adalah gambar di atas. Dalam artikel mereka, “Indonesia lets plastic burning continue despite warning on toxic.”
Berikut ini cuplikan dari beritanya:
Pemerintah Indonesia, tersinggung oleh laporan yang menemukan bahwa membakar plastik untuk bahan bakar meracuni penduduk di sebuah desa di Jawa Timur, menggunakan pembakaran ilegal untuk melanjutkan sementara mereka menantang studi lingkungan.
Pembuat tahu di desa, Tropodo, yang telah lama membakar sampah plastik untuk bahan bakar ketel dapur mereka, mengalami penurunan penjualan dalam beberapa pekan terakhir karena kekhawatiran bahwa dioksin, bahan kimia beracun, yang dihasilkan dari kebakaran mencemari tahu mereka.
Daripada memberlakukan larangan pembakaran sampah plastik, yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjuk panel ahli Indonesia untuk melawan laporan yang dirilis bulan lalu oleh kelompok lingkungan hidup Indonesia dan internasional.
Itu hanya salah satu dari permasalahan yang ditimbulkan dari sampah plastik. Bagaimana cara negeri ini untuk mengatasi sampah plastik yang kian meningkat tiap tahunnya?
Dengan wilayahnya yang sangat luas, pertumbuhan penduduk di Indonesia juga tergolong cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi masyarakat yang semakin meningkat, maka hal ini pun menyebabkan munculnya berbagai permasalahan.
Salah satu permasalahan penting yang berdampak terhadap lingkungan adalah meningkatnya kapasitas volume sampah, khususnya sampah plastik. Tingkat konsumsi masyarakat terhadap sampah plastik yang terus meningkat, maka timbunan sampah plastik juga turut meningkat.
Baca juga: Mengukur Usia Pohon dengan Lingkaran Tahun
Kontribusi sampah plastik terhadap total produksi sampah nasional mencapai 15% dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 14,7% per tahun dan menempatkan sampah plastik sebagai kontributor terbesar kedua setelah sampah organik. Studi di berbagai kota di Indonesia menunjukkan kontribusi sampah plastik terhadap total sampah kota di Indonesia bervariasi, antara lain Jakarta (14%), Surabaya (10,8%), Palangkaraya (15%).
Persentase kontribusi sampah plastik di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Malaysia (14%) dan Thailand (16%) namun lebih rendah daripada Singapura (27,3%) (AOP, 2007). Namun, secara riil, produksi sampah Indonesia sangat besar sebab total produksi sampah sebanyak 189 kilo ton/hari jauh lebih banyak daripada negara-negara di Asia Tenggara yang lain.
Pengelolaan sampah plastik masih menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini dikarenakan sampah plastik bersifat tidak dapat terdekomposisi secara alami (non biodegradable) sehingga pengelolaan secara open dumping dan landfill kurang tepat diterapkan. Apabila sampah plastik dikelola dengan cara dibakar, maka akan menimbulkan pencemaran udara karena mengandung emisi dioxin yang bersifat karsinogenik.
Pengelolaan daur ulang sampah plastik dengan pirolisis
Pengelolaan sampah plastik adalah dengan mendaur ulang sampah plastik menjadi bentuk lain yang saat ini sedang popular. Namun hal ini juga kurang tepat. Mengapa? Proses daur ulang hanya akan mengubah sampah plastik menjadi bentuk baru bukan menanggulangi volume sampah plastik. Ketika produk daur ulang tersebut sudah kehilangan nilai fungsinya, maka akan kembali menjadi sampah plastik.
Salah satu alternative penanganan sampah plastik adalah dengan melakukan proses daur ulang (recycle). Metode yang digunakan di sini adalah pirolisis sampah plastik, yakni suatu metode dimana dapat mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Selain bermanfaat untuk menyediakan bahan bakar dengan dengan nilai energi cukup tinggi, pirolisis juga dapat mengurangi jumlah sampah plastik secara signifikan.
Secara umum, kurang lebih 950 ml minyak bakar bisa diperoleh dari pirolisis satu kilogram plastik Polyolefin misalnya Polypropylene, polyethylene, dan Polystyrene.Studi-studi mengenai pembuatan bahan bakar dari sampah plastik telah dilakukan. Pratama dan Saptoadi (2014) serta Kadir (2012) melakukan studi pirolisis sampah plastik dengan memvariasikan komposisi dan jenis bahan baku plastik.
Sementara studi yang dilakukan oleh Osueke dan Ofondu (2011) berfokus pada pirolisis yang berlangsung pada suhu tinggi dan pengaruh penggunaan katalis terhadap kualitas produk.
Plastik itu sendiri merupakan material yang terbuat dari nafta, yakni produk turunan dari minyak bumi hasil proses penyulingan.
Karakteristik plastik yang memiliki ikatan kimia yang sangat kuat sehingga banyak material yang dipakai oleh masyarakat berasal dari plastik. Namun plastik merupakan material yang tidak bisa terdekomposisi secara alami (non biodegradable) sehingga setelah digunakan, material yang berbahan baku plastik akan menjadi sampah yang sulit diuraikan oleh mikroba tanah dan akan mencemari lingkungan.
Baca juga: Apa Itu Food Loss and Waste? Ini Penjelasan Lengkapnya!
Berdasarkan asalnya, sampah plastik dibedakan menjadi dua macam yaitu sampah plastik industry dan sampah plastik rumah tangga. Sampah plastik industry umumnya berasal dari industry pengolahan plastik maupun industry pemrosesan. Sedangkan sampah plastik rumah tangga umumnya berasal dari kegiatan sehari-sehari misalnya plas tik kemasan, botol minuman, tempat makanan, dan sebagainya.
Berdasarkan sifatnya, plastik dikelompokkan menjadi dua macam, yakni thermoplastik dan thermosetting.
Thermoplastik adalah bahan plastik yang bila digunakan untuk membuat material tertentu dapat didaur ulang dan dibuat menjadi bentuk material yang lain melalui proses pemanasan. Contoh thermoplastik antara lain yaitu Polyethylene, Polypropylene, Nylon, Polycarbonate.
Thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam material tertentu, tidak dapat dicairkan untuk didaur ulang atau dibuat produk lain. Contoh plastik yang termasuk thermosetting antara lain Phenol formaldehyde, Urea Formaldehyde, Melamine Formaldehyde (Das & Pandey, 2007; Surono, 2013).
Berdasarkan jenis produknya, terdapat 6 jenis plastik yaitu Polyethylene Terephthalate (PET), High Density Polyethylene (HDPE), Polyvinyl Chloride (PVC), Low Density Polyethylene (LDPE), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS), dan lain-lain.
Umumnya sampah plastik memiliki komposisi 46% Polyethylene (HDPE dan LDPE),16% Polypropylene (PP), 16% Polistyrene (PS), 7% Polyvinyl Chloride (PVC), 5% Polyethylene Trephthalate (PET), 5% Acrylonitrile-Butadiene-Styrene (ABS) dan polimer-polimer lainnya.
Lebih dari 70% plastik yang dihasilkan saat ini adalah Polyethilene (PE), Polypropylene (PS), dan Polyvinyl Chloride (PVC) sehingga sebagian besar studi yang dilakukan peneliti berhubungan dengan keempat jenis polimer tersebut (Praputri dkk, 2016).
Baca juga: Faktor yang Memengaruhi Keragaman Curah Hujan (Presipitasi)
Pirolisis
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar cair, antara lain: pyrolysis, thermal cracking, and catalitic cracking. Diantara ketiga metode tersebut, metode pirolisis adalah metode yang dianggap paling menjanjikan.
Pirolisis berasal dari dua kata yaitu pyro yang berarti panas dan lysis yang berarti penguraian atau degradasi, sehingga pirolisis berarti penguraian biomassa oleh panas pada suhu lebih dari 150°C.
Pirolisis merupakan proses thermal cracking yaitu proses perekahan atau pemecahan rantai polimer menjadi senyawa yang lebih sederhana melalui proses thermal (pemanasan atau pembakaran) dengan tanpa maupun sedikit oksigen.
Pirolisis merupakan proses endotermis yang artinya pirolisis hanya dapat berlangsung ketika dalam energi panas diberikan dalam system. Energi panas yang diperlukan dalam proses ini dapat bersumber dari tenaga listrik maupun dari tungku pembakaran dengan bahan bakar berupa limbah kayu seperti potongan-potongan kayu, serbuk gergaji, dan lain-lain.
Istilah lain dari pirolisis adalah “destructive distillation” atau destilasi kering, merupakan proses penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar.
Plastik yang mengalami proses pirolisis akan terdekomposisi menjadi material-material pada fase cair dalam bentuk minyak bakar, fase gas berupa campuran gas yang dapat terkondensasi maupun tidak dapat terkondensasi dan fase padat berupa residu maupun tar (Hamidi dkk, 2013).
Dibandingkan dengan bio-fuel seperti biodisel maupun bioetanol, minyak hasil pirolisis plastik memiliki beberapa kelebihan. Minyak hasil pirolisis tidak mengandung air sehingga nilai kalorinya lebih besar. Selain itu, minyak hasil pirolisis tidak mengandung oksigen sehingga tidak menyebabkan korosi (Hidayah & Syafrudin, 2018).
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam proses pirolisis berupa :
- Material plastik yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian
- ini adalah plastik dari jenis polyprophelene (PP) berupa gelas plastik yang digunakan sebagai kemasan air minum dalam kemasan (AMDK), gelas plastik ini diperoleh dari pengepul.
- Minyak tanah dan solar yang digunakan sebagai bahan bakar pembanding diperoleh dari Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Pertamina sehingga spesifikasi bahan bakar yang diperoleh sesuai standar Pertamina.
- 1 set reaktor pirolisis
- Air sebagai pendingin
- Timbangan digital
- Stopwatch
- Gelas ukur
- Termometer
- Pipet
- Tungku pembakaran
- Cawan
Prosedur
Masukkan 200 gram gelas plastik dalam kondisi kering ke dalam alat pirolisis yang dilengkapi system pendingin dan penampung destilat. Gelas plastik (PP) pada fase padat selanjutnya diubah menjadi fase cair (minyak) dengan menggunakan proses thermo cracking (pirolisis). Alasan pemilihan plastik jenis PP yakni memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan PVC maupun PET (Thorat dkk, 2013).
Plastik PP merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki sifat mekanis yang baik dengan massa jenis yang rendah, ketahanan panas dan kelembaban serta kestabilan dimensi yang baik. Selain itu, plastik jenis PP mempunyai susunan molekul hidrokarbon yang paling sederhana dbandingkan jenis plastik lainnya (Ermawati, 2011).
Proses perubahan fase dari padat menjadi cair berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama, perubahan fase padat menjadi gas dilakukan dengan cara memanaskan gelas plastik (padat) dengan menggunakan kompor LPG. Tahap kedua, perubahan fase gas menjadi cair dengan cara mengkondensasikan gas yang terbentuk pada tahap pertama sehingga diperoleh destilat berupa minyak (cair).
Analisis Studi Penelitian Pirolisis Minyak Plastik dengan Minyak Tanah dan Minyak Solar
Minyak hasil pirolisis sampah plastik kemudian dianalisis massa jenisnya dengan variabel perbandingan dengan minyak tanah dan solar. Analisis dilakukan dengan cara mengukur volume dan massa masing-masing sampel.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan kemampuan minyak hasil pirolisis plastik dengan minyak tanah dan solar dalam hal massa jenis, lama pembakaran, temperatur air, dan volume air yang hilang (menguap) saat dimasak menggunakan air tersebut.
Tiap-tiap sampel diambil 5 ml dengan gelas ukur selanjutnya sampel ditimbang untuk diperoleh massa sampel. Massa jenis sampel dihitung dengan persamaan :
P = massa jenis
M = massa
V = volume
Analisis unjuk kerja minyak hasil pirolisis, minyak tanah dan solar dilakukan dengan menganalisis lama pembakaran masing-masing sampel bahan bakar, unjuk kerja sampel dalam menaikkan suhu (memanaskan) air dan mengukur volume air yang tersisa setelah dipanaskan dengan menggunakan masing-masing sampel bahan bakar.
Analisis lama pembakaran dilakukan dengan mengambil 5 ml masing-masing sampel bahan bakar yang dimasukkan ke 3 tungku pembakaran yang berbeda. Waktu yang dibutuhkan masing-masing sampel bahan bakar untuk membakar material sampai habis akan dihitung dan dianalisis.
Analisis unjuk kerja sampel bahan bakar dalam memanaskan air dilakukan dengan menggunakan masing-masing sampel sebagai bahan bakar untuk memanaskan 15 ml air. Proses pemanasan dilakukan selama 4 menit dan selanjutnya temperatur air yang dipanasakan dengan 3 sampel bahan bakar akan diukur dan dianalisis.
Analisis unjuk kerja sampel bahan bakar dalam menguapkan air dilakukan dengan mengukur memanaskan 15 ml air selama 4 menit. Selanjutnya volume air yang tersisa setelah dilakukan pemanasan dengan 3 sampel bahan bakar yang berbeda diukur dan dianalisis.
Massa Jenis
Hasil penghitungan massa jenis minyak pirolisis plastik, minyak tanah, dan minyak solar menunjukkan bahwa massa jenis minyak hasil pirolisis plastik jenis PP sebesar 0,8 g/ml lebih rendah dari massa jenis minyak solar namun lebih tinggi dari massa jenis minyak tanah.
Massa jenis minyak solar dan minyak tanah ini masuk dalam kisaran spesifikasi standar menurut Kementerian ESDM (2006) yaitu 0,815 – 0,87 gr/ml untuk minyak solar dan 0,79 – 0,83 gr/ml untuk minyak tanah. Berikut grafik hasil penghitungan massa jenis dari ketiga jenis minyak tersebut.
Suatu benda yang memiliki massa jenis yang semakin tinggi maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Minyak solar memiliki massa paling besar pada setiap volumenya dibandingkan dari ketiga jenis minyak yang diteliti. Sedangkan minyak tanah memiliki massa yang paling rendah pada setiap volumenya.
Hal ini mengindikasikan bahwa minyak solar masih memiliki banyak pengotor karena dihasilkan dari proses penyulingan bahan bakar mentah pertama sehingga kualitasnya masih berada di bawah minyak tanah dan minyak pirolisis.
Lama Pembakaran
Lama pembakaran digunakan untuk mengetahui waktu yang dibuthkan minyak untuk membakar habis suatu benda. Hasil yang didapatkan dari hasil analisis bahwa minyak solar menghasilkan waktu pembakaran yang paling lama dibandingkan minyak tanah dan minyak pirolisis yaitu 5,59 menit.
Hal ini dikarenakan minyak solar memiliki titik nyala yang paling tinggi diantara kedua minyak lainnya yaitu 55°C (Kementerian ESDM, 2006), sedangkan titik nyala minyak tanah adalah 47,8°C (Kahar, 2007).Titik nyala berhubungan langsung dengan mudah atau tidaknya suatu bahan bakar dapat terbakar.
Titik nyala yang semakin rendah menyebabkan zat tersebut semakin mudah dibakar, sehingga sifat fisis ini sangat penting sekali sebagai syarat suatu zat dikatakan sebagai bahan bakar. Walaupun dalam analisis tidak dihitung titik nyala minyak pirolisis, tetapi biasa diartikan bahwa minyak pirolisis memiliki titik nyala yang lebih besar dari minyak tanah namun lebih kecil dari minyak solar.
Hasil analisis studi dalapt dilihat pada grafik berikut.
Temperatur Air
Pada penelitian ini, minyak hasil pirolisis plastik diuji dengan menggunakannya sebagai bahan bakar untuk memasak air sehingga dapat diketahui besarnya temperatur air. Temperatur air yang dihasilkan dari pemasakan menggunakan minyak pirolisis akan dibandingkan dengan temperatur air hasil pemasakan menggunakan minyak tanah dan minyak solar.
Jika dianalisis dari kedua grafik di atas, maka terlihat adanya hubungan yang berbanding terbalik antara lama pembakaran minyak dengan temperatur air yang dipanaskan. Semakin lama waktu pembakaran maka temperatur air yang dihasilkan akan semakin rendah. Pengukuran temperatur ini dilakukan
pada waktu yang sama pada masingmasing jenis minyak.
Ketika cawan air yang dibakar menggunakan minyak tanah sudah panas, maka cawan air yang dibakar menggunakan minyak pirolisis mulai panas namun cawan air yang dibakar menggunakan minyak solar belum panas.
Minyak solar membutuhkan waktu yang paling lama untuk terbakar karena memiliki titik nyala paling tinggi (55°C) diantanya kedua minyak lainnya sehingga air yang dimasak menggunakan minyak solar memiliki temperatur yang paling rendah 74°C. Sedangkan air yang dimasak menggunakan bahan bakar minyak pirolisis memiliki temperatur 75°C.
Temperatur ini berada diantara minyak tanah dan minyak solar karena minyak pirolisis plastik memiliki titik nyala yang juga berada diantara minyak tanah dan minyak solar. Begitu pula minyak tanah yang menghasilkan temperatur pada air paling tinggi yaitu 80°C, karena memiliki titik nyala paling rendah (47,8°C).
Volume Air yang Hilang
Uji kemampuan minyak pirolisis juga dilakukan dengan mengukur banyaknya volume air yang hilang (menguap) pada proses pemanasan air menggunakan minyak tersebut. Berikut disajikan grafik hasil banyaknya volume air yang menguap.
Volume air yang menguap paling tinggi dihasilkan dari pemasakan air menggunakan minyak solar (13,2 ml), diikuti minyak pirolisis (12,6 ml) dan yang paling rendah adalah minyak tanah (8,4 ml). Volume air yang menguap seharusnya memiliki hubungan berbanding lurus dengan temperatur air.
Namun, pada kenyataannya, temperatur air dan volume air yang menguap berbanding terbalik. Hal ini berakitan dengan titik nyala minyak. Semakin tinggi titik nyala maka semakin lama nyala dari pembakaran minyak tersebut.
Kesimpulan
Massa jenis minyak pirolisis adalah 0,8 g/ml. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk membakar habis suatu benda adalah 4,02 menit. Pemasakan air menggunakan bahan bakar minyak pirolisis menghasilkan temperatur 75℃pada waktu pemasakan 4 menit dengan volume air yang hilang (menguap) sebesar 12,6 ml.
Jika dibandingkan dengan kualitas minyak tanah dan minyak solar, kualitas minyak pirolisis berada di bawah minyak tanah namun diatas solar berdasarkan indikator massa jenis, lama pembakaran, temperatur air dan volume air yang hilang (menguap) saat dimasak menggunakan minyak tersebut.
Untuk bisa mendapatkan teknologi tepat guna dari pirolisis plastik ini, bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan alat pirolisis sebaiknya menggunakan bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan (biogas) sehingga diharapkan hasil yang diperoleh lebih murah dan aplikatif.
Perlu dilakukan pengujian standar spesifikasi bahan bakar minyak pirolisis agar dapat diketahui pemanfaatannya, termasuk kekurangan dan kelebihannya dibanding bahan bakar minyak yang saat ini sudah ada di pasaran.
Referensi
Jatmiko, dkk. 2018. The Utilization of Plastic Waste as Raw Material for Producing Alternative Fuel. Jurnal Litbang Vol. XIV hal. 58-67.Hendriyanti, Okik, dkk. Pirolisis Sampah Plastik sebagai Bahan Bakar Alternatif dengan Penambahan Sampah Ranting. Jurnal Envirotek Vol. IX No. 2.